Neswa.id-Salah satu kegiatan hari kedua pada kegiatan Muktamar Pemikiran NU (2/12) adalah sesi paralel. Sesi ini dibagi menjadi 5 bagian dengan beberapa topik, di antaranya: Pertama, Membayangkan Masyarakat Masa Depan Sudut Pandang Agama. Kedua, Membayangkan Masyarakat Masa Depan Sudut Pandang Ekonomi & Politik. Ketiga, Membayangkan Masyarakat Masa Depan Sudut Pandang Budaya. Keempat, Membayangkan Masyarakat Masa Depan Sudut Pandang Pendidikan. Kelima, Pendekatan Tekhnologi dan Media Sosial.
Di paralel 2 tentang budaya, para aktivis budaya yang hadir menyuguhkan beberapa gagasan.
Maria Fauzi, memaparkan bahwa ekspresi keagamaan dimediasi oleh digital dan akan memperkaya dan memperbanyak wacana. Namun disisi lain, menciptakan polarisasi keberagamaan.
“Penting untuk memperbanyak alternatif wacana, misalnya dari masyarakat NU, untuk menormalisasi keberagaman,” ungkap Maria.
Senada dengan penjelasan Maria, Asep Solahuddin juga menyoroti tentang fenomena digital. Kehadirannya pasti datang, faktor yang berpengaruh besar terhadap percepatan migrasi ke dunia digital adalah Covid-19. Dengan demikian, waca keagamaan juga bertransformasi ke digital.
Virdy Rizki Utama, pemateri yang juga hadir dalam sesi paralel tersebut justru melihat NU sebagai organisasi yang bergerak di politik nilai. Berdasarkan riset yang sudah dilakukan kepada anak Jakarta, NU belum bisa problem solver bagi masyarakat.
“Hari ini dihadapkan dengan pemilih muda, di mana secara teknologi lebih berkembang. NU memiliki tantangan pada pandangan anak muda, NU dianggap tidak progresif, misalnya dalam satu kasus konflik, Wadas, Rempang, menganggap NU tidak bisa diharapkan menyelesaikan masalah yang menjadi concern anak muda,” jelas Virdy.
Cicik Farcha Assegaf, melihat dari sudut pandang berbeda berdasarkan kondisi Indonesia yang masuk aging society (masyarakat yang menua). Banyak kelompok masyarakat lansia yang harus diberdayakan. Menurutnya harus ada sesuatu yang dilakukan bersama, NU harus mengambil posisi terdepan untuk meraih isu ini, menjadi leader dan ujung tombak, untuk mengambil perhatian untuk isu tersebut.
Lain dari pada argumen di atas, Kiai M. Jadul Maula melihat berdasarkan perspektif sejarah masa silam, di mana NU dibentuk dan paham ahlus sunnah wal jamaah disebarkan.
“Saya membaca risalah ahlus sunnah wal jama’ah adalah soal menyelamatkan manusia. yang mau dimurnikan menyelematkan masyarakat Indonesia, di mana paham agamanya belum tercemar. Politik etis, ideologi yang masuk, teosofi, yang begitu kacau. Dan ahlus sunnah wal jamaah dimurnikah kembali,” jelas Kiai Jadul, sapaan akrabnya.
Menurut Kiai Jadul, penemuan digital hari ini, dari segi knowledge yang sudah ada di masa lalu, sehingga masyarakat saat ini tinggal memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Tentunya, untuk kepentingan masyarakat. (IM)
Leave a Reply